Kamis, 26 Januari 2012

Eksistensi Puisi Lama di Era Globalisasi

-->
Terang bulan, terang di kali
Buaya timbul disangka mati
Orde Soeharto
Nampak tak ada lagi
Ternyata sisanya masih di sana-sini” pantun karya Rendra.
            Sudah jarang sekali penulis mendengar atau melihat kaula muda menuturkan atau mencipta puisi sejenis itu. Padahal, puisi tersebut merupakan salah satu khazanah dari sastra Indonesia yang tergolong puisi lama (tradisional) yang kita sebut pantun.
            Puisi lama merupakan salah satu genre dari sastra melayu klasik. Puisi lama terdiri dari gurindam, pantun, syair, mantra. Setiap genre tersebut mempunyai ciri masing-masing. Seperti gurindam yang berumus a-a, pantun a-b-a-b.
            Namun, kekhasan dari puisi lama di era globalisasi kurang mendapat tempat. Kaula muda sebagai penerus berasumsi puisi lama sudah usang dan tak cocok untuk dituturkan kembali. Hal tersebut disinyalir karena pengaruh zaman yang menuntut keinstanan. Puisi lama yang terikat aturan di anggap merepotkan. Padahal, puisi lama bisa mencerahkan karena dalam setiap baitnya mengandung amanat yang tersirat.
            Internet pun yang menyokong kemajuan peradaban manusia ternyata tak memberikan imbasnya pada perkembangan puisi lama. Kiranya dengan lahirnya cyber sastra orang lebih bisa berekspresi puisi lama dalam akun-akun pribadi seperti facebook, twitter atau blog. Era ini malah membuat puisi lama semakin terlupakan, terganti oleh inovasi-inovasi baru berupa permainan atau sarana pengungkapan yang lebih ngetren.
Baca Selengkapnya....

            Kemunduran tersebut, penulis rasa selain karena kurangnya kesadaran orang-orang untuk memakai puisi lama juga karena tiadanya lahan ekspresi puisi lama. Bisa kita tengok koran dan majalah mana yang sekarang membuka rubrik puisi lama. Penulis rasa sulit untuk menemukannya. Berbeda dengan puisi modern, cerpen, dan cerbung yang berhamburan.
            Rasanya memang lebih bijak dan mantap bila media masa bisa memberikan ruang untuk puisi lama. Sehingga orang bisa tahu dan sadar akan adanya puisi lama lewat publikasi tersebut dan mulai merintis keinginan untuk menulisnya pula.
            Para penerbit yang berminat menerbitkan kumpulan puisi lama pun bisa dihitung. Di antara para penerbit tersebut hanya penerbit kelas menengah atau daerah yang mau sehingga pemasaran bukunya pun tak bisa meluas ke seluruh pelosok.
            Sudah jarang juga penulis melihat di toko buku ramai oleh buku-buku puisi lama. Berbeda dengan puisi modern yang masih bisa kita jumpai atau bahkan sastra populer yang memang mendominasi.
            Balai Bahasa sebagai lembaga yang menangani masalah kebahasaan dan kesuastraan pun kurang menggeliat dalam memecahkan masalah ini. Jarang sekali lomba-lomba atau bahkan tidak ada  lomba-lomba tulis atau tutur puisi lama. Berbeda dengan cipta puisi, cerpen dan novel yang secara intens dilaksanakan.             
-->
            Puisi lama memang sudah tergantikan oleh puisi modern. Apalagi sejak Chairil Anwar melakukan pembaruan puisi lewat bahasa yang lebih sederhana dan sehari-hari. Namun, menerima pembaharuan dan perbaikan bukan berarti pula melupakan puisi lama yang merupakan warisan nenek moyang kita.
***
 Muhamad Patoni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar