“Terang bulan, terang di kali
Buaya timbul disangka mati
Orde Soeharto
Nampak tak ada lagi
Ternyata sisanya masih di sana-sini” pantun karya Rendra.
Sudah jarang sekali penulis mendengar atau melihat kaula muda menuturkan atau mencipta puisi sejenis itu. Padahal, puisi tersebut merupakan salah satu khazanah dari sastra Indonesia yang tergolong puisi lama (tradisional) yang kita sebut pantun.
Puisi lama merupakan salah satu genre dari sastra melayu klasik. Puisi lama terdiri dari gurindam, pantun, syair, mantra. Setiap genre tersebut mempunyai ciri masing-masing. Seperti gurindam yang berumus a-a, pantun a-b-a-b.
Namun, kekhasan dari puisi lama di era globalisasi kurang mendapat tempat. Kaula muda sebagai penerus berasumsi puisi lama sudah usang dan tak cocok untuk dituturkan kembali. Hal tersebut disinyalir karena pengaruh zaman yang menuntut keinstanan. Puisi lama yang terikat aturan di anggap merepotkan. Padahal, puisi lama bisa mencerahkan karena dalam setiap baitnya mengandung amanat yang tersirat.
Internet pun yang menyokong kemajuan peradaban manusia ternyata tak memberikan imbasnya pada perkembangan puisi lama. Kiranya dengan lahirnya cyber sastra orang lebih bisa berekspresi puisi lama dalam akun-akun pribadi seperti facebook, twitter atau blog. Era ini malah membuat puisi lama semakin terlupakan, terganti oleh inovasi-inovasi baru berupa permainan atau sarana pengungkapan yang lebih ngetren.