Minggu, 22 Januari 2012

Menumbuhkan Jati Diri Bangsa yang Berbudaya Lokal di Tengah Serangan Globalisasi

Salah satu hal yang identik dengan abad ke-20 adalah globalisasi. Globalisasi adalah sebuah fenomena meluasnya teknologi internet yang menuntut keinstanan serta keterbukaan setiap orang dalam mengenal seluruh dunia tanpa sebuah batas. Karena globalisasi juga, jutaan orang di seluruh dunia bisa saling mengenal, berbagi, dan berinteraksi. 
Baca Selengkapnya....
Namun, globalisasi ibarat dua sisi mata uang, globalisasi tidak hanya memiliki sisi positif  tetapi juga negatif. Sisi negatifnya adalah semakin luluhnya jati diri bangsa. Parahnya, jati diri bangsa yang diluluhkan adalah jati diri kaula remaja yang akan meneruskan tonggak kepemimpinan negara.
Peluluhan yang dilakukan globalisasi merambah berbagai hal seperti kepatriotismean, kereligiusan, dan kesosialan. Kepatriotismean remaja-remaja kita saat ini seakan pudar. Mereka tidak tahu bagaimana sejarah kemerdekaan negaranya sendiri. Tokoh-tokoh pejuangnya pun mereka tidak kenal. Bahkan, ketika upacara bendera hari senin, mereka kerap bolos. Mereka lebih tahu tokoh-tokoh Hollywood yang jelas-jelas bukan pemberi kemerdekaan. Kereligiusan remaja-remaja kita pun patut dipertanyakan. Agama sebagai pembawa kebaikan dan kedamaian mulai di nomor duakan. Bahkan, faham atheis (tidak beragama) mulai mewabah di remaja. Tak heran bila beberapa tahun terakhir di Indonesia ramai dengan aliran-aliran sesat yang para pengikutnya adalah remaja. Nilai-nilai kesosialan pun mulai hilang. Globalisasi yang memperlihatkan liberalisme dan kapitalisme yang menghalalkan segala cara untuk meraih sesuatu lebih dipilih remaja dibandingkan Pancasila. Pancasila yang membawa nilai-nilai budaya lokal yang berketuhanan, berkerakyatan, dan berkeadilan dengan cara yang baik dikesampingkan.  
Bila diidentifikasi, luluhnya jati diri bangsa bisa disebabkan oleh lepas kontrol orang  tua dan gagalnya guru dalam mendidik. Lepas kontrol orang tua bisa terjadi karena paradigma mereka yang menganggap anaknya sudah dewasa yang berarti tidak perlu di atur lagi. Padahal, anak yang bersekolah di jenjang menengah sangat rawan menyeleweng. Selain itu, karena merasa anaknya di sekolahkan, maka orang tua lepas tangan dan meliarkan anaknya untuk diawasi guru. Guru pun sebagai pengemban amanat dari orang tua terlihat gagal. Guru-guru tidak bisa menanamkan nilai-nilai jati diri bangsa. Hal tersebut terjadi karena umumnya guru hanya menekankan pembelajaran di kelas dalam konteks keilmuan yang hanya melihat hasil akhir. Tidak melirik nilai-nilai kearifan siswa ketika menjalani proses belajar.
Jadi, jelaslah bahwa peran guru di sekolah sangat penting dalam membentuk jati diri bangsa yang berbudaya lokal. Namun, dalam pembentukan tersebut harus dilakukan dengan media yang tepat sehingga prosesnya bisa berjalan dengan baik. Menurut penulis salah satu media yang bisa digunakan ialah sastra.

Sastra bisa menjadi media yang tepat karena sastra merekam jati diri bangsa yang berbudaya lokal. Karena juga sastra menyampaikannya dengan cara yang indah sehingga pembacanya bisa menerima dengan lebih mudah. Berbeda dengan memperkenalkan jati diri bangsa lewat buku ilmiah yang tentunya kaku. Penulis yakini remaja akan bosan dan kesulitan mengambil intisarinya bila berbentuk buku ilmiah. Tetapi, bila berbentuk puisi, cerpen, atau novel, pembaca akan lebih mudah menyerap, bahkan, mereka yang awalnya hanya ingin mencari hiburan, tanpa mereka sadari telah menanamkan benih-benih jati diri bangsa lewat karya sastra yang mereka baca.
Karya-karya sastra yang merekam dan menggambarkan jati diri bangsa banyak sekali, baik di karya sastra dulu (angkatan balai pustaka sampai reformasi) maupun sekarang (angkatan 2000). Contoh karya-karya sastra dulu seperti Novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli dan Layar Terkembang karya S. Takdir Alisjahbana. Novel Siti Nurbaya membuat pembacanya tergugah dan terdorong akan pentingnya kehidupan berbangsa, sementara Novel Layar Terkembang membeberkan pentingnya persatuan dan kesatuan.
Lalu Cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis pun sama. Lewat karya tersebut A. A. Navis menyindir orang-orang yang kelihatannya patuh melakukan syariat agama, padahal sebenarnya tidak sehingga mudah terhasut untuk bunuh diri. Dalam cerpen tersebut A. A. Navis mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk tidak seperti itu dalam peribadahan kepada Tuhan.
Tidak ketinggalan Chairil Anwar lewat puisinya Dipenogoro yang menggambarkan dan merekam jati diri bangsa yang patriot. Lalu karya-karya Taufik Ismail yang mengeritik fenomena-fenomena sosial yang juga pencerminan jati diri bangsa yang peduli sesama.
Dalam karya-karya sekarang seperti Tentarogi Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan Trilogi Novel Negeri Lima Menara Karya A. Fuadi. Laskar pelangi mengisahkan perjuangan sepuluh anak miskin untuk bisa mengenyam pendidkan. Yang ujungnya bermuara pada kekuatan mimpi. Mimpi-mimpi itulah yang pada akhirnya membuat mereka tegar. Negeri Lima Menara serupa dengan Laskar Pelangi yaitu perjuangan mewujudkan mimpi. Bedanya Negeri Lima Menara melihatnya dari sisi islam. Para tokoh dalam novel tersebut diembeli mantra sihir “Man Jadda Wa Jadda” yang artinya “bila kau bersungguh-sungguh maka kau akan berhasil” dalam usaha meraih mimpi mereka. Kedua novel tersebut mengobarkan jati diri bangsa yang berbudaya kuat dan bercita-cita.
Dalam kereligiusan, ada Novel Ayat-Ayat Cinta serta Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 yang ditulis Habiburahman El Shirazy. Kedua novel tersebut dari segi cerita hampir sama. Menceritakan perjuangan mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Al-Azhar dalam menemukan keridaan Allah. Novel-novel tersebut mengajarkan bagaimana seharusmya bangsa Indonesia mengaplikasikan perintah-perintah Tuhan dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam berkuliah, berbisnis, dan mencari pendamping hidup.
Dari sisi cinta tanah air, ada novel-novel yang awalnya film lalu di novelkan seperti Novel Tanah Air Beta, King, dan Garuda di Dadaku. Semua novel tersebut berlandaskan merah putih dalam ceritanya. Yang tentunya menggambarkan jati diri bangsa yang berbudaya cinta tanah air.
Itulah beberapa dari sekian banyak bacaan sastra yang merekam jati diri bangsa yang berbudaya lokal. Yang penulis yakini bila dibaca akan melekatkan gambaran bagaimana seharusnya manusia Indonesia.
***
Muhamad Patoni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar