Bahasa berkaitan erat dengan pemiliknya,
yaitu manusia. Maka, tak heran bila bahasa beragam karena manusia sebagai
pemiliknya begitu beragam. Keberagaman tersebut terlihat dari keinginan,
kegiatan, dan keadaan yang berbeda antarmanusia.
Di zaman sekarang, bahasa yang selaras,
tanpa ragam, kecil kemungkinan ada. Kecuali di masyarakat pedalaman yang pola
hidupnya monoton serta tak berhubungan dengan dunia luar. Sedangkan masyarakat
yang mengenal dunia luar (selain daerah mereka) atau pola hidupnya dinamis
tentu saja bahasanya beragam.
Bahasa Indonesia pun mengalami keragaman
tersebut. Hal itu terjadi karena manusia Indonesia mempunyai beragam keinginan,
kegiatan dan keadaan. Apalagi, bahasa Indonesia digunakan oleh berbagai suku
dengan berbagai latar belakang bahasa daerah yang berbeda. Hal tersebut semakin
membuat bahasa Indonesia beragam.
Baca Selengkapnya....
Baca Selengkapnya....
Keberagaman bahasa sendiri paling
mencolok dalam perbendaharaan kosa kata. Pada dasarnya setiap ragam memiliki
sistem fonem, kata, dan kalimat yang sama dengan bahasa standar, yang
membedakannya hanya kosa kata saja. Hal itu terlihat dengan setiap ragam
memiliki kamus tersendiri, misalnya kamus bahasa gaul, kamus bahasa
jurnalistik, kamus istilah biologi, kamus istilah ekonomi dll.. Akan tetapi, sistem
fonem, kata, dan kalimat tetap sama, kalau pun berbeda tidaklah dominan.
Dalam ranah nonformal di Indonesia,
selain kita menggunakan bahasa daerah, kita juga bisa menggunakan bahasa
Indonesia nonstandar atau kita sebut bahasa Indonesia dialek Jakarta. Bahasa
Indonesia nonstandar digunakan di Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan daerah dekat
Jakarta lainnya. Bahasa Indonesia nonstandar ini pun lahir lewat proses yang
panjang, terutama penyerapan kosa katanya. Berikut sekilas tentang dua bahasa
yang memberikan sumbangsi pada perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia
nonstandar.
Bahasa Prokem
Bahasa prokem lahir sekitar tahun 70-an
atau akhir 80-an. Ciri bahasa prokem adalah disisipkannya -ok- dalam
kata-katanya setelah dua fonem paling akhir dihilangkan. Seperti kata prokem
yang berasal dari kata preman, kata preman dihilangkan dua fonem terakhirnya menjadi
prem, lalu di sisipkan -ok- menjadi prokem. Seperti juga kata bapak yang menjadi
bokap. Kata bapak dihilangkan dua fonem terakhirnya menjadi bap, lalu disisipikan
-ok- menjadi bokap.
Selain penyisipan -ok-, proses
morfologis bahasa prokem ini bisa dilakukan dengan mengganti kata ke lawan kata,
mencari kata sepadan, menentukan angka-angka, penggantian fonem, distribusi fonem,
penambahan awalan, atau akhiran. Contohnya kata dagadu yang artinya matamu.
Perubahan kata ini menggunakan rumusan pergantian fonem, dimana fonem /m/
diganti dengan fonem /d/, sedangkan fonem /t/ diubah menjadi fonem /g/. Sementara
fonem vokal sama sekali tidak mengalami perubahan. Rumusan ini didasarkan pada
susunan fonem pada aksara Jawa yang dibalik dengan melompati satu baris untuk
masing-masing fonem.
Dalam
ragam bahasa Indonesia nonstandar kata-kata dari bahasa prokem ini kita
gunakan.
Bahasa Betawi
Bahasa Indonesia yang bersinggungan
dengan bahasa daerah membuat lahirnya bahasa nonstandar sangat mungkin. Dalam
kasus kenonstandaran bahasa Indonesia, bahasa Betawi cukup banyak menyumbang
kenonstandaran tersebut. Kita tentu mengenal kata gua, elu, belon, cuman. Itulah beberapa contoh kata-kata dari
bahasa Betawi yang kita sering gunakan dalam pertuturan bahasa Indonesia
nonstandar. Pada bahasa asalnya, bahasa Betawi, kata-kata tersebut kata-kata
yang baku, namun pada bahasa Indonesia tidak baku.
Yang
menarik meskipun interferensi kosa kata bahasa Betawi pada bahasa Indonesia
cukup banyak, pelafalan kata bahasa Betawi belum kita ikuti. Kata apa, bawa,
aja, masih kita lafalkan /apa/, /bawa/ dan /aja/, belum menjadi /ape/, /bawe/
dan /aje/. Padahal, pada bahasa Betawi fonem /a/ yang berada di akhir kata
selalu dilafalkan /e/.
Bagaimana Kita Menyikap Bahasa Indonesia Nonstandar ini?
Ahli bahasa yang berpaham prespektif
mengatakan bahasa nonstandar merusak bahasa Indonesia. Padahal, kenonstandaran
itu sendiri muncul karena kebutuhan sosial masyarakat pemilik bahasa, misalnya ketika
kita sedang mengobrol dengan penuh canda dengan teman akrab, tentu saja untuk
melahirkan keakraban itu dibutuhkan bahasa yang tidak kaku, maka didasari
kebutuhan tersebut digunakanlah bahasa nonstandar. Contoh lain ketika seorang
manusia berada pada usia remaja, secara sosial ia ingin terlihat berbeda dengan
orang tua dan anak-anak, maka, keinginan berbeda tersebut salah satunya diekspresikan
lewat penggunaan bahasa yang berbeda dengan orang tua dan anak-anak, maka
lahirlah bahasa nonstandar. Jadi, pelarangan terhadap penggunaan bahasa nonstandar
tidak mungkin karena penggunannya pun didasari oleh kebutuhan sosial dari penggunanya.
Paling
pelarangan yang bisa kita lakukan ketika bahasa nonstandar digunakan tidak pada
ranahnya. Kita tidak perlu menyoal ketika sekelompok mahasiswa berbahasa “gue, elu” di kantin karena itu memang
ranah nonformal, ranah bagi bahasa nonstandar. Kita baru bisa menyoal mahasiswa
tersebut ketika ia berbahasa “gue, elu”
di ranah formal misalnya perkuliahan dan seminar.
Untuk
itu, marilah kita membedakan konsep bahasa yang benar dan baik. Bahasa yang
benar adalah bahasa yang sesuai dengan tata baku bahasa. Sedangkan bahasa yang
baik adalah bahasa yang sesuai dengan ranah atau situasinya. Sekelompok
mahasiswa yang berbahasa “gue, elu”
ketika di kantin sedang menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Hal tersebut
sah dalam berbahasa.
Dipublikasikan di Isolapos.com.
Belajar hal yang baru. Makasih buat tulisannya, Patoni.
BalasHapuscalon linguis memang harus progresif ni
BalasHapus