Kamis, 19 April 2012

Mahasiswa, Bahasa Indonesia, dan Budaya Ngaret

         Mahasiswa disebut kaum intelektual. Intelektual berarti kaum yang kritis dan memandang sesuatu lebih mendalam. Karena intelektual juga, mahasiswa selalu berada di garis terdepan dalam memperjuangkan keadilan bagi rakyat. Contohnya saat menggusur rezim Soeharto, mahasiswalah yang menjadi pelopor.
Mahasiswa memang elemen penting yang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan negara kita. Para pemberontak penjajah dan penggagas kemerdekaan pun muncul dari kaum mahasiswa. Jadi, mahasiswa mempunyai andil besar dalam kemunduran dan kemajuan negara kita.
Baca Selengkapnya....
Namun, dari segala keintelektualan tersebut, ada satu budaya jelek yang dimiliki mahasiswa, yaitu budaya ngaret. Ngaret adalah proses keterlambatan atau tidak tepat waktu. Ngaret tersebut telah menjadi budaya yang tidak bisa dijauhkan dari mahasiswa. Meskipun, harus diketahui juga bahwa tidak semua mahasiswa suka ngaret, ada beberapa atau sekian banyaknya mahasiswa yang selalu tepat waktu. Namun, tidak bisa dimungkiri juga budaya ngaret memang ada dan mewabah. Dalam berbagai kegiatan ngaret selalu mengiringi.
Dari pengamatan dan pengalaman penulis, ngaret di kalangan mahasiswa bisa terjadi di kegiatan perkuliahan dan nonperkuliahan. Di kegiatan perkuliahan, mahasiswa sering tidak tepat waktu masuk kuliah dan mengumpulkan tugas. Di kegiatan nonperkuliahan yaitu dalam himpunan atau organisasi mahasiswa (Ormawa), mahasiswa selalu ngaret dalam berbagai kegiatannya. Namun, dalam kegiatan nonperkuliahan ini, kebanyakan ngaret dalam kegiatan nonformal, dalam kegiatan formal seperti sidang pemilihan ketua himpunan, rapat kerja dll. mahasiswa selalu tepat waktu. Sementara kegiatan nonformal seperti kajian mata kuliah, olahraga bersama, kultum bulanan, buka puasa bersama mahasiswa selalu ngaret.
Mengapa budaya ngaret ini sangat sulit untuk dihilangkan?
Banyak faktor yang bisa menyebabkan hal tersebut sulit dihilangkan, dari sekian banyak faktor tersebut, linguistik punya penjelasan. Dalam linguistik ada sebuah hipotesis yang sangat terkenal. Hipotesis tersebut dikemukakan dua linguis yaitu Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Hipotesis mereka menyatakan bahasa memengaruhi kebudayaan. Lebih jelasnya, bahasa itu memengaruhi cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya (A. Chaer, 1994). Contohnya orang-orang Sunda sangat mengagung-agungkan tata krama dalam bersosial. Hal tersebut bisa terjadi karena dalam bahasa Sunda ada undak-usuk basa (speech levels) . Undak-usuk basa ini yang membedakan bahasa menjadi bahasa kasar, lembut untuk diri sendiri, lembut untuk orang lain. Seperti sakit yang mempunyai tiga padanan, ada gering (kasar), udur (lembut untuk diri sendiri), teu damang (lembut untuk orang lain).
Lalu orang-orang yang bahasanya mempunyai kategori kala (tenses), membuat orang-orang tersebut terikat dan menghargai waktu. Seperti dalam bahasa Inggris dan beberapa bahasa di Eropa yang mempunyai kategori kala. Para penutur bahasa tersebut sangat menghargai waktu dan tidak ngaret.
Maka, jelaslah mengapa mahasiswa (juga orang Indonesia umunya) suka ngaret karena dalam bahasanya tidak ada kala seperti bahasa Inggris atau bahasa-bahasa lainnya. Dalam bahasa Inggris untuk menyatakan sesuatu yang sekarang (present) dan lampau (past) terjadi perubahan pada verb (kata kerja). Misalnya dalam kalimat “I cook balado now (Sekarang)”, bandingkan dengan kalimat “I cooked balado yesterday (lampau)”. Pada dua kalimat tersebut terjadi perubahan verb dari cook yang verb tipe satu ke cooked yang verb tipe 2. Sedangkan bahasa Indonesia tidak bersistem seperti itu, untuk menyatakan dua kejadian tersebut cukup menambahkan keterangan waktu tanpa melakukan perubahan pada verb.
Hipotesis Sapir dan Whorf memang sangat unik. Namun, harus diketahui bahwa hipotesis ini banyak dipertentangkan dan ditolak para linguis. Banyak dari para linguis yang telah melakukan penelaahan dan penelitian mendalam tentang hipotesis Safir dan Whorf dan hasilnya menolak hipotesis mereka. Yang lebih banyak diimani kebalikan dari hipotesis Sapir dan Whorf, yaitu budaya memengaruhi bahasa. Tetapi, patut dicoba juga, apakah betul bahasa memengaruhi budaya? Mari kita coba masukan kategori kala dalam bahasa Indonesia, semoga saja dengan begitu budaya ngaret bisa hilang. Hehe.
***
Dimuat di Majalah Literat BSO Hima Satrasia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar